Abstract:
Di era globalisasi perkembangan perekonomian terutama di
bidang perindustrian dan perdagangan nasional sekarang, telah
menghasilkan berbagai bentuk barang dan jasa yang dapat
dikonsumsi. Kondisi ini pada satu pihak menguntungkan
konsumen, karena kebutuhan konsumen akan barang dan jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin lebar kebebasan
konsumen untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan jasa
sesuai dengan kemampuan konsumen. Di lain pihak, kondisi
tersebut mengakibatkan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha
tidak seimbang dan konsumen berada di posisi yang lemah.
Konsumen hanya menjadi objek yang tidak mempunyai kekuatan
mandiri untuk menimbang suatu barang atau jasa. Ketika
mendapati masalah, biasanya konsumen hanya diam. Sementara
itu, pelaku usaha lebih tahu persis keadaan, kondisi dan kualitas
barang yang dihasilkan.
Selama ini, konsumen memerlukan kepastian hukum
terhadap suatu produk apakah berlabel halal / haram terhadap
seluruh pangan yang di konsumsi, sehingga muncul adanya
kecenderungan yang kuat bahwa konsumen muslim amat selektif
dalam memilih produk pangan yang halal. Hal ini dapat berakibat
pada pangan yang di impor maupun di produksi yang tidak berlabel
halal mulai ditinggalkan konsumen. Dan sebaliknya, pangan yang
berlabel halal di cari oleh konsumen. Menurut Pasal 1 Angka 5
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan
Iklan Pangan menyatakan bahwa Pangan halal adalah pangan yang
tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau di larang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku
pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong
lainnya termasuk bahan pangan yang di olah melalui proses
rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.
Kehalalan produk pangan merupakan hal yang penting bagi
umat Islam. Bagi konsumen muslim, makanan yang aman tidak
hanya sekedar terbebas dari bahaya fisik, kimia ataupun
mikrobiologi, tetapi juga ada suatu unsur yang sangat hakiki, yaitu
aman dari bahaya barang yang diharamkan dan diragukan oleh
syari’at Islam.
Sertifikat halal menjadi sangat penting artinya bagi
konsumen muslim karena menyangkut prinsip keagamaan dan hak
konsumen. Sementara terdapat fakta bahwa belum semua produk
makanan bersertifikat halal. Dengan demikian, upaya untuk
memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan
konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk
segera dicari solusinya. Permasalahan ini muncul karena konsumen
semakin kritis dan membutuhkan kepastian tentang produk pangan
yang dikonsumsinya baik dari sisi legalitas dan kualitas, yang baik
dan halal. Apalagi dengan terbukanya perdagangan bebas ASEAN
melalui MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), produk-produk olahan
pangan dari negara lain akan beredar dengan leluasa di Indonesia.
Pencantuman label halal merupakan salah satu upaya untuk
memberikan informasi kepada konsumen dan upaya untuk
melindungi konsumen baik itu konsumen muslim maupun non
muslim. Dengan tercantumnya label pada kemasan konsumen
sudah merasa terlindungi, walaupun mereka kebanyakan tidak
mengetahui label tersebut asli atau dipalsukan.
Labelisasi bersifat sukarela, izin labelisasi dikeluarkan oleh
BPOM berdasarkan sertifikat halal yang diterbitkan oleh MUI
dengan melalui beberapa tahapan proses sampai keputusan halal
dikeluarkan. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk
mencantumkan label halal. Label halal dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pengetahuan
masyarakat akan makanan halal cukup tinggi namun kesadaran
produsen untuk mensertifikasi produknya masih sangat rendah.
Tentu saja hal ini harus di dukung dengan sistem peraturan
pemerintah yang sekarang masih kurang di tekankan. Jika makanan
itu halal dari proses awal produksinya sampai pada pemasarannya
maka tidak akan merugikan konsumen, baik konsumen muslin
ataupun non muslim yang mengkonsumsinya. Karena makanan
yang halal sudah pasti baik dan berefek pula bagi tubuh.